Saat itu kami sedang
dalam Masa Orientasi Sekolah. Berawal dari sebuah tutup botol minuman, aku bisa
mengenalnya. Kami memang sudah diberikan tugas untuk membawa 5 tutup botol
berwarna biru oleh kakak senior. Entah apa yang terjadi, sepertinya dia lupa.
Dan saat itu aku berbaris tepat di sampingnya , sehingga dia menanyaiku.
“Kamu punya tutup botol
lebih nggak?”
“Iya, kenapa?” tanya ku
heran.
“Boleh pinjam dulu
nggak?”
“Ini, ambil aja” jawabku
santai sambil memberikan yang ada di tanganku. Saat itu, aku memang membawa 10
tutup botol sebagai cadangan.
Dia pun berterima kasih sambil
tersenyum manis padaku. Dia melayangkan sebuah senyuman yang mampu menghipnotisku
dan membuat duniaku berhenti untuk seperkian detik. Mungkin terdengar sangat
berlebihan, tapi itu benar-benar ku rasakan. Aku sadar, saat itu aku langsung
jatuh hati padanya.
“Oh ya, kenalin nama aku
Aris, kamu siapa?” pertanyaannya menyadarkanku. Dan aku pun menoleh kearah
tangannya yang sedang diulurkannya padaku.
“Aku Rara” ujarku sambil
menyambut uluran tangannya.
“Oh, Rara, nama yang
bagus. Boleh minta nomor kamu nggak? Aku ini pelupa jadi aku kan bisa tanya
kamu kalau nanti ada informasi penting.”
“Iya deh” jawabku.
“Mana HP kamu?”
“Nih” aku pun menyerahkan
HP ku padanya.
Dia pun mengetik nomornya
di HP ku dan tidak lupa memiscall nomor
HP nya agar dia bisa menyimpan nomorku juga. Setelah itu, kami pun sering
berkirim pesan. Dan semakin hari aku semakin menyukainya dan kami pun semakin
dekat. Dia sering mengajakku pergi makan dan melakukan banyak hal bersama.
Saat itu adalah momen
terindah yang pernah kumiliki ketika kami sedang berolahraga pagi, tiba-tiba
saja rintik-rintik air jatuh dari langit, hujan. Tanpa sadar dia pun mengenggam
erat tanganku dan mengajakku berlari. Dengan nafas yang terasa berpacu, kami
berteduh di bawah pohon yang rindang dan terdiam untuk beberapa lama seakan tak
menyadari sedang bergandengan tangan. Sampai aku menyadarinya dan aku pun
berdehem agar dia bersedia melepaskan genggaman tangannya. Tapi kenyataannya
berbeda, dia malah menatap dalam ke mataku, entah apa yang dicarinya, bibirnya
mulai terbuka seperti akan mengatakan sesuatu ”Aku mencintaimu ra”. Jantungku
pun berdetak kencang, bibirku kaku diam seribu bahasa, kata-kata darinya
membuatku lupa akan segalanya. “Cinta”, kata-kata itu menggema di hatiku. “Aku
juga mencintaimu” namun hanya hatiku yang berucap. Dia tetap memandangku, dan
kali ini berucap lagi, “Boleh nggak Aris jadi pacar Rara?”. Kata-katanya
berbeda dari kebanyakan cowok yang ku kenal, tidak seperti cowok lainnya yang
selalu berkata “Mau nggak jadi pacarku?” yang membuat ku tak tertarik karena hal
itu terdengar biasa. Seolah-olah lelaki menganggap wanita itu sesuatu yang bisa
menjadi miliknya begitu saja, tetapi aku bahagia mendengarnya yang bersedia
jadi milikku. Aku pun tersenyum malu-malu sambil menganggukkan kepalaku. Ku
rasa itu cukup untuk menjawab segalanya, “Aku juga mencintaimu dan kamu boleh
jadi pacarku” dia pun langsung memelukku. Dan tetesan air dari langit pun
menjadi saksi atas segalanya.
Saat itu hubungan kami
selalu berjalan lancar. Setiap pagi, dia selalu meneleponku sekedar untuk berucap “Aku mencintaimu, bidadariku” dan
mengingatkan ku akan kewajiban ku pada Maha Pencipta yang telah mengirimkannya
untukku. Seperti biasanya setiap malam, dia tidak akan memutuskan sambungan
telepon sampai aku tertidur, atau kami sama-sama tertidur.
Tapi terkadang cinta yang
terlalu besar bisa menjerumuskan. Rasa cemburu dan sikap posesif menghancurkan
segalanya. Sifat nya yang kekanak-kanakkan yang membuatku terkekang untuk tidak
berteman dengan lelaki lain, dan selalu ingin tahu apapun yang ku lalukan yang
semestinya tak perlu dia tahu. Awalnya aku senang karena rasa cemburunya itu
menandakan ia cinta padaku. Dan aku berfikir itu wajar, karena dia pacarku.
Namun semakin hari, tingkahnya itu membuatku mulai jenuh, terasa seperti aku
berada dalam ruangan hampa tanpa pintu dan jendela. Pikiranku pun mulai
membuatku bosan akan kelakuannya, kami jadi sering bertengkar hingga sampai
pada titik akhir.
“Kita putus”, kata itu
pun terlontar begitu saja dari bibirku. Bagai petir yang menggelegar, aku pun
terkejut dengan kata keramat yang ku dengar dari ucapanku sendiri. Takut-takut
kutatap wajah Aris, wajah kaku menahan marah, ia diam seketika. Ditatapnya
mataku lekat-lekat, dengan tatapan sendu ia berucap “Apakah ini yang jadi
akhirnya? Apa ini yang kau mau?” aku hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca,
berusaha menahan sesuatu yang akan keluar dari pelupuk mataku. Tak ada
keberanianku untuk menatap ke arahnya. Yang aku tahu, dari sudut mataku, aku bisa
melihatnya meneteskan air mata. Ia pun pergi dengan langkah lunglai dan terus
melangkah tanpa menoleh ke arahku. Saat itu, seharusnya ku cegah dia pergi dan
ku genggam tangannya sambil menyesali kata-kataku. Seandainya hal itu ku
lakukan, mungkin hubungan kami tak kan pernah berakhir begitu saja.
“Dia itu peduli dan cinta
banget sama lo, tapi kenapa lo sia-siain sih?” itulah pertanyaan dan protes
yang diberikan sahabatku Dwi. Setiap aku ingat hal itu, dadaku terasa sesak dan
hatiku jadi sakit. Karena aku tahu bahwa aku bukanlah gadis romantis yang selalu
bilang “Aku mencintaimu” pada pasanganku setiap hari. Kata-kata itu belum
sempat aku ucapkan secara langsung pada Aris. Aku hanya menyimpannya dalam
hatiku, itulah yang membuatku sangat menyesal hingga saat ini. Mungkin itu penyebab
tingkah kekanak-kanakannya. Seharusnya aku lebih sering mengucapkan kata-kata itu
sebelum kami berpisah. Mungkin itu akan membuatnya percaya dan membuat hubungan
kami menjadi lebih kuat.
Hubungan percintaan kami
telah berakhir lebih dari setengah tahun dan kini kami sedang di tingkat akhir
masa SMA. Tapi hatiku sama sekali belum berubah, aku masih mencintainya.
Setelah tiga bulan tak bertegur sapa, akhirnya dia menghubungiku dan kami pun
kembali berteman. Perlahan tapi pasti , pertemanan kami berganti menjadi
persahabatan. Kini dia sering tersenyum dan sangat perhatian padaku karena aku
adalah sahabatnya. Batinku sering berkecamuk dalam kedelimaan. “Sahabat? Apakah
aku benar-benar menganggapnya sahabatku? Tidak, sebenarnya aku masih
menyukainya.” Tapi aku harus membuang perasaan itu karena perasaan itu akan
merusak kedekatan kami. Aku tak ingin berada jauh darinya lagi, merasakan
kerinduan yang mendalam. Penyakit yang mungkin mampu membunuhku secara
perlahan.
Hal yang tak ku harapkan
akhirnya datang. Awalnya aku mengira alasan dia mengajakku ke sebuah cafe yang
tak jauh dari sekolah adalah untuk menikmati es krim coklat kesukaanku. Namun
ternyata dia ingin memperkenalkan aku pada seorang gadis. Gadis itu mengenakan
seragam sekolah lain. Dia begitu cantik dengan rambut yang digeraikan sepanjang
pinggang ditambah senyuman menawan yang ditampakkannya untuk menyambut kami.
“Ra, kenalin gadis cantik
ini, namanya Mona, dia pacarku.” Ujar Aris. Bagai petir yang menyambar, aku pun
terkejut.
“Oh .. ini ya? Cantik ya?
Nama aku Mona, senang kenalan sama kamu.” Ujar Mona padaku.
“Terima kasih, kamu juga
cantik Mon, nama aku Rara, senang juga kenalan sama kamu.” Ujarku sambil
tersenyum getir mati-matian menahan tangis.
Kami pun menyantap
makanan kami dengan rasa canggung. Aku pun banyak diam dan hanya mendengarkan
mereka bergurau satu sama lain. Rasanya seperti berada di dunia lain.
Penyelamatku pun tiba, telepon genggamku tiba-tiba berdering.
Dengan alasan menjawab telepon, aku pun pergi menjauh dari mereka. Seusai
menelepon, aku pun segera berpamitan kepada mereka karena ada urusan mendadak.
“Ris, aku pergi ya.. Ada
keperluan mendesak nih.” Ujarku berbohong.
“Keperluan apa sih? Nggak
bisa ditunda ya? Kamu kan udah janji mau nemenin aku hari ini.” Ujar Aris
menahan kepergianku.
“Sekarang kan udah ada
Mona, biar Mona aja yang nemenin kamu. Mau kan Mona?” tanyaku pada Mona.
“Iya Ra, tapi enaknya kan
kalau ada kamu. Jadi kita bisa senang-senang bareng.” Perkataan Mona yang
terlihat tulus mengagetkanku. Lalu Mona pun menoleh ke arah Aris dan tersenyum
“Iya kan sayang?” ujarnya sambil mengenggam tangan Aris.
“Iya Ra, keperluan itu
penting banget ya? Sampai kamu nggak bisa bersama kami lebih lama?” Ujar Aris mencoba
menahanku.
“Iya maaf Ris, Mon, aku
harus pergi. Terima kasih tawarannya.” Lalu aku pun beranjak pergi tanpa
menoleh sedikitpun. Rasanya salah karena berbohong pada mereka
dengan alasan tersebut, padahal kenyataannya mamaku menelepon hanya menanyakan
keberadaanku saja untuk mengatakan dimana ia menitipkan kunci karena ia akan
pergi ke acara arisan bersama
teman-temannya.
Sesampaiku di rumah, aku
pun langsung masuk kamar dan
menumpahkan semua kekesalanku dengan menutup wajahku dengan bantal dan menangis
sejadi-jadinya. Semuanya benar-benar menjadi kejutan besar bagiku saat ini.
Orang yang ku cintai telah menjadi milik gadis lain dan itu membuat hatiku
merasa sedih dan hancur. Aku berniat melupakan perasaanku pada Aris dan menjauh
dari kehidupannya.
Aris pun mengirimkan
pesan singkat kepadaku.
“Hei Ra, hari ini seru
banget, sayangnya kamu nggak ada sih. Tadi ada urusan apa sih?”
Aku pun membalasnya
dengan singkat. “Urusan sama mama.”
Tidak puas dengan balasanku,
Arispun menelepon. Dengan sungkan aku pun mengangkat telepon darinya.
“Ya Ris, ada apa?”
“Aku mau cerita nih.”
“Tentang apa?”
“Tentang Mona, dia
cantikkan?”
“Iya cantik Ris”
“Kamu nggak keberatankan
aku pacaran sama dia?”
“Nggaklah, kenapa aku
harus keberatan? aku senang kok kamu akhirnya pacaran lagi.” Ujarku berbohong.
“Aris, sudah dulu ya,
mataku sudah berat nih, aku mau tidur. Good
night, bye..” dan aku pun langsung memutuskan sambungan telepon itu tanpa
menunggu respon dari Aris.
Aku pun tak ingin tahu
apa yang dipikirkan Aris saat ini. Biarlah dia yang berkecamuk dalam pikirannya
sendiri. Aku pun menghidupkan komputerku, dan langsung mengaktifkan akun facebookku. Dan ternyata Aris juga
sedang online sepertiku. Dia pun
mengirim pesan padaku.
“Hei, pembohong. Katanya
tadi mau tidur.”
Aku hanya membacanya dan
tidak membalas pesannya.
Dia pun mengirimkan pesan
lagi.
“Ra, aku kesepian nih, teleponan yuk.”
“Ra, balas dong.”
“Ra, kamu kenapa sih
malam ini?, cuek banget.”
“Ra, jangan diamin aku
dong.”
Dia terus mengirimi ku
pesan, aku pun akhirnya membalasnya.
“Kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Malam
ini aneh banget.” Balas Aris secepat kilat.
Aku pun langsung menutup
akunku dan mematikan komputerku.
Besok harinya, di
sekolah, ketika aku sedang berjalan ke kelas. Aku melihat Aris masuk ke kelasku
dan aku pun lekas bersembunyi. Setelah dia keluar, aku pun segera masuk. Saat bel
pulang sekolah berbunyi, aku sesegera mungkin keluar dari kelas dan langsung
pulang. Sudah beberapa hari, aku berhasil bersembunyi dari Aris. Namun di hari
selanjutnya kejadiaan naas menimpaku, ban sepeda motorku kempes.
“Hei, udah lama ya nggak
ketemu?” sebuah suara yang ku kenal mengagetkanku.
Aku menoleh memastikan
pendengaranku, “Aris” batinku. Tanpa membalas kata-katanya, aku pun kembali
fokus ke motorku.
“Hei, bannya kempeskan?
Jadi, pulang sama aku aja yok.”
“Nggak usah, duluan aja.” jawabku datar.
Aku pun melangkah pergi. Lalu
sebuah tangan menghentikanku. “Kamu kenapa sih ra? Aku ada salah apa sama
kamu?”
“Kamu nggak punya salah apapun
kok.” Jawabku datar sambil melepaskan genggaman tangan Aris.
“Kenapa kamu berubah?”
Aku hanya diam dan terus
berjalan. Lalu Aris pun berteriak “Kamu tau, aku yang ngempesin ban kamu biar aku
bisa pulang bareng kamu.”
Pengakuan Aris sontak
membuatku terkejut. “Kekanak-kanakan” ujarku menimpali. Ia pun berteriak “Aku
kangen kamu ra, hari-hari tanpa kamu tuh hampa banget. Aku nggak mau kehilangan
kamu.”
Aku terus melangkah
tanpa suara. Aris pun berlari mengejarku dan
mengenggam tanganku lebih erat. “Lepasin!” teriakku.
“Kamu masih cinta aku kan
ra? Jujur ra! Kamu ngejauhin aku karena Mona kan ra?” senyumnya jahil
menatapku.
“Nggak, aku benci kamu.”
Teriakku kesal.
Wajah Aris pun berubah, tampak
terpukul. Aku pun merasa bersalah “ maaf” ujarku lirih.
Aris pun tersenyum
kembali “Aktingku sukses ra, kamu ketipu. Mona tuh cuman ngebantuin aku
bersandiwara biar kamu cemburu.”
“Hah?” perkataan Aris
membuatku terheran-heran.
“Beneran ra.. aku masih
cinta sama kamu, cuman kamu cewek yang aku cinta.” senyum Aris mengembang.
“Beneran?” tanya ku tak
percaya.
“Iya, benar ra. Aku cinta
kamu ra, Rara Anjani.” Lalu dia pun menarik pundakku dan memelukku.
Tubuhku pun hanya
menerima pelukannya tanpa protes. “Terima kasih dan ku rasa aku benar-benar
membencimu sekarang.” Ujarku sambil tersenyum.
Dia pun tertawa lalu
berkata “Sampai akhir pun kamu nggak bisa mengungkapkan kata-kata cinta, aku anggap
itu cara kamu menyatakan cinta sama aku. Jangan saling membohongi lagi”
“Em..” jawabku sambil
menganggukkan kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar