Rabu, 13 September 2017

Cerpen "Ungkapan Cinta Rara" oleh Irana Dwi Jayanti

Saat itu kami sedang dalam Masa Orientasi Sekolah. Berawal dari sebuah tutup botol minuman, aku bisa mengenalnya. Kami memang sudah diberikan tugas untuk membawa 5 tutup botol berwarna biru oleh kakak senior. Entah apa yang terjadi, sepertinya dia lupa. Dan saat itu aku berbaris tepat di sampingnya , sehingga dia menanyaiku.
“Kamu punya tutup botol lebih nggak?”
“Iya, kenapa?” tanya ku heran.
“Boleh pinjam dulu nggak?”
“Ini, ambil aja” jawabku santai sambil memberikan yang ada di tanganku. Saat itu, aku memang membawa 10 tutup botol sebagai cadangan.
Dia pun berterima kasih sambil tersenyum manis padaku. Dia melayangkan sebuah senyuman yang mampu menghipnotisku dan membuat duniaku berhenti untuk seperkian detik. Mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi itu benar-benar ku rasakan. Aku sadar, saat itu aku langsung jatuh hati padanya.
“Oh ya, kenalin nama aku Aris, kamu siapa?” pertanyaannya menyadarkanku. Dan aku pun menoleh kearah tangannya yang sedang diulurkannya padaku.
“Aku Rara” ujarku sambil menyambut uluran tangannya.
“Oh, Rara, nama yang bagus. Boleh minta nomor kamu nggak? Aku ini pelupa jadi aku kan bisa tanya kamu kalau nanti ada informasi penting.”
“Iya deh” jawabku.
“Mana HP kamu?”
“Nih” aku pun menyerahkan HP ku padanya.
Dia pun mengetik nomornya di HP ku dan tidak lupa memiscall nomor HP nya agar dia bisa menyimpan nomorku juga. Setelah itu, kami pun sering berkirim pesan. Dan semakin hari aku semakin menyukainya dan kami pun semakin dekat. Dia sering mengajakku pergi makan dan melakukan banyak hal bersama.
Saat itu adalah momen terindah yang pernah kumiliki ketika kami sedang berolahraga pagi, tiba-tiba saja rintik-rintik air jatuh dari langit, hujan. Tanpa sadar dia pun mengenggam erat tanganku dan mengajakku berlari. Dengan nafas yang terasa berpacu, kami berteduh di bawah pohon yang rindang dan terdiam untuk beberapa lama seakan tak menyadari sedang bergandengan tangan. Sampai aku menyadarinya dan aku pun berdehem agar dia bersedia melepaskan genggaman tangannya. Tapi kenyataannya berbeda, dia malah menatap dalam ke mataku, entah apa yang dicarinya, bibirnya mulai terbuka seperti akan mengatakan sesuatu ”Aku mencintaimu ra”. Jantungku pun berdetak kencang, bibirku kaku diam seribu bahasa, kata-kata darinya membuatku lupa akan segalanya. “Cinta”, kata-kata itu menggema di hatiku. “Aku juga mencintaimu” namun hanya hatiku yang berucap. Dia tetap memandangku, dan kali ini berucap lagi, “Boleh nggak Aris jadi pacar Rara?”. Kata-katanya berbeda dari kebanyakan cowok yang ku kenal, tidak seperti cowok lainnya yang selalu berkata “Mau nggak jadi pacarku?” yang membuat ku tak tertarik karena hal itu terdengar biasa. Seolah-olah lelaki   menganggap wanita itu sesuatu yang bisa menjadi miliknya begitu saja, tetapi aku bahagia mendengarnya yang bersedia jadi milikku. Aku pun tersenyum malu-malu sambil menganggukkan kepalaku. Ku rasa itu cukup untuk menjawab segalanya, “Aku juga mencintaimu dan kamu boleh jadi pacarku” dia pun langsung memelukku. Dan tetesan air dari langit pun menjadi saksi atas segalanya.
Saat itu hubungan kami selalu berjalan lancar. Setiap pagi, dia selalu meneleponku sekedar  untuk berucap “Aku mencintaimu, bidadariku” dan mengingatkan ku akan kewajiban ku pada Maha Pencipta yang telah mengirimkannya untukku. Seperti biasanya setiap malam, dia tidak akan memutuskan sambungan telepon sampai aku tertidur, atau kami sama-sama tertidur.
Tapi terkadang cinta yang terlalu besar bisa menjerumuskan. Rasa cemburu dan sikap posesif menghancurkan segalanya. Sifat nya yang kekanak-kanakkan yang membuatku terkekang untuk tidak berteman dengan lelaki lain, dan selalu ingin tahu apapun yang ku lalukan yang semestinya tak perlu dia tahu. Awalnya aku senang karena rasa cemburunya itu menandakan ia cinta padaku. Dan aku berfikir itu wajar, karena dia pacarku. Namun semakin hari, tingkahnya itu membuatku mulai jenuh, terasa seperti aku berada dalam ruangan hampa tanpa pintu dan jendela. Pikiranku pun mulai membuatku bosan akan kelakuannya, kami jadi sering bertengkar hingga sampai pada titik akhir.
“Kita putus”, kata itu pun terlontar begitu saja dari bibirku. Bagai petir yang menggelegar, aku pun terkejut dengan kata keramat yang ku dengar dari ucapanku sendiri. Takut-takut kutatap wajah Aris, wajah kaku menahan marah, ia diam seketika. Ditatapnya mataku lekat-lekat, dengan tatapan sendu ia berucap “Apakah ini yang jadi akhirnya? Apa ini yang kau mau?” aku hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan sesuatu yang akan keluar dari pelupuk mataku. Tak ada keberanianku untuk menatap ke arahnya. Yang aku tahu, dari sudut mataku, aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Ia pun pergi dengan langkah lunglai dan terus melangkah tanpa menoleh ke arahku. Saat itu, seharusnya ku cegah dia pergi dan ku genggam tangannya sambil menyesali kata-kataku. Seandainya hal itu ku lakukan, mungkin hubungan kami tak kan pernah berakhir begitu saja.
“Dia itu peduli dan cinta banget sama lo, tapi kenapa lo sia-siain sih?” itulah pertanyaan dan protes yang diberikan sahabatku Dwi. Setiap aku ingat hal itu, dadaku terasa sesak dan hatiku jadi sakit. Karena aku tahu bahwa aku bukanlah gadis romantis yang selalu bilang “Aku mencintaimu” pada pasanganku setiap hari. Kata-kata itu belum sempat aku ucapkan secara langsung pada Aris. Aku hanya menyimpannya dalam hatiku, itulah yang membuatku sangat menyesal hingga saat ini. Mungkin itu penyebab tingkah kekanak-kanakannya. Seharusnya aku lebih sering mengucapkan kata-kata itu sebelum kami berpisah. Mungkin itu akan membuatnya percaya dan membuat hubungan kami menjadi lebih kuat.
Hubungan percintaan kami telah berakhir lebih dari setengah tahun dan kini kami sedang di tingkat akhir masa SMA. Tapi hatiku sama sekali belum berubah, aku masih mencintainya. Setelah tiga bulan tak bertegur sapa, akhirnya dia menghubungiku dan kami pun kembali berteman. Perlahan tapi pasti , pertemanan kami berganti menjadi persahabatan. Kini dia sering tersenyum dan sangat perhatian padaku karena aku adalah sahabatnya. Batinku sering berkecamuk dalam kedelimaan. “Sahabat? Apakah aku benar-benar menganggapnya sahabatku? Tidak, sebenarnya aku masih menyukainya.” Tapi aku harus membuang perasaan itu karena perasaan itu akan merusak kedekatan kami. Aku tak ingin berada jauh darinya lagi, merasakan kerinduan yang mendalam. Penyakit yang mungkin mampu membunuhku secara perlahan.
Hal yang tak ku harapkan akhirnya datang. Awalnya aku mengira alasan dia mengajakku ke sebuah cafe yang tak jauh dari sekolah adalah untuk menikmati es krim coklat kesukaanku. Namun ternyata dia ingin memperkenalkan aku pada seorang gadis. Gadis itu mengenakan seragam sekolah lain. Dia begitu cantik dengan rambut yang digeraikan sepanjang pinggang ditambah senyuman menawan yang ditampakkannya untuk menyambut kami.
“Ra, kenalin gadis cantik ini, namanya Mona, dia pacarku.” Ujar Aris. Bagai petir yang menyambar, aku pun terkejut.
“Oh .. ini ya? Cantik ya? Nama aku Mona, senang kenalan sama kamu.” Ujar Mona padaku.
“Terima kasih, kamu juga cantik Mon, nama aku Rara, senang juga kenalan sama kamu.” Ujarku sambil tersenyum getir mati-matian menahan tangis.
Kami pun menyantap makanan kami dengan rasa canggung. Aku pun banyak diam dan hanya mendengarkan mereka bergurau satu sama lain. Rasanya seperti berada di dunia lain. Penyelamatku pun tiba, telepon genggamku tiba-tiba berdering. Dengan alasan menjawab telepon, aku pun pergi menjauh dari mereka. Seusai menelepon, aku pun segera berpamitan kepada mereka karena ada urusan mendadak.
“Ris, aku pergi ya.. Ada keperluan mendesak nih.” Ujarku berbohong.
“Keperluan apa sih? Nggak bisa ditunda ya? Kamu kan udah janji mau nemenin aku hari ini.” Ujar Aris menahan kepergianku.
“Sekarang kan udah ada Mona, biar Mona aja yang nemenin kamu. Mau kan Mona?” tanyaku pada Mona.
“Iya Ra, tapi enaknya kan kalau ada kamu. Jadi kita bisa senang-senang bareng.” Perkataan Mona yang terlihat tulus mengagetkanku. Lalu Mona pun menoleh ke arah Aris dan tersenyum “Iya kan sayang?” ujarnya sambil mengenggam tangan Aris.
“Iya Ra, keperluan itu penting banget ya? Sampai kamu nggak bisa bersama kami lebih lama?” Ujar Aris mencoba menahanku.
“Iya maaf Ris, Mon, aku harus pergi. Terima kasih tawarannya.” Lalu aku pun beranjak pergi tanpa menoleh sedikitpun. Rasanya salah karena berbohong pada mereka dengan alasan tersebut, padahal kenyataannya mamaku menelepon hanya menanyakan keberadaanku saja untuk mengatakan dimana ia menitipkan kunci karena ia akan pergi ke acara arisan bersama  teman-temannya.
Sesampaiku di rumah, aku pun langsung masuk kamar dan menumpahkan semua kekesalanku dengan menutup wajahku dengan bantal dan menangis sejadi-jadinya. Semuanya benar-benar menjadi kejutan besar bagiku saat ini. Orang yang ku cintai telah menjadi milik gadis lain dan itu membuat hatiku merasa sedih dan hancur. Aku berniat melupakan perasaanku pada Aris dan menjauh dari kehidupannya.
Aris pun mengirimkan pesan singkat kepadaku.
“Hei Ra, hari ini seru banget, sayangnya kamu nggak ada sih. Tadi ada urusan apa sih?”
Aku pun membalasnya dengan singkat. “Urusan sama mama.”
Tidak puas dengan balasanku, Arispun menelepon. Dengan sungkan aku pun mengangkat telepon darinya.
“Ya Ris, ada apa?”
“Aku mau cerita nih.”
“Tentang apa?”
“Tentang Mona, dia cantikkan?”
“Iya cantik Ris”
“Kamu nggak keberatankan aku pacaran sama dia?”
“Nggaklah, kenapa aku harus keberatan? aku senang kok kamu akhirnya pacaran lagi.” Ujarku berbohong.
“Aris, sudah dulu ya, mataku sudah berat nih, aku mau tidur. Good night, bye..” dan aku pun langsung memutuskan sambungan telepon itu tanpa menunggu respon dari Aris.
Aku pun tak ingin tahu apa yang dipikirkan Aris saat ini. Biarlah dia yang berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Aku pun menghidupkan komputerku, dan langsung mengaktifkan akun facebookku. Dan ternyata Aris juga sedang online sepertiku. Dia pun mengirim pesan padaku.
“Hei, pembohong. Katanya tadi mau tidur.”
Aku hanya membacanya dan tidak membalas pesannya.
Dia pun mengirimkan pesan lagi.
“Ra, aku kesepian nih, teleponan yuk.”
“Ra, balas dong.”
“Ra, kamu kenapa sih malam ini?, cuek banget.”
“Ra, jangan diamin aku dong.”
Dia terus mengirimi ku pesan, aku pun akhirnya membalasnya.
“Kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Malam ini aneh banget.” Balas Aris secepat kilat.
Aku pun langsung menutup akunku dan mematikan komputerku.
Besok harinya, di sekolah, ketika aku sedang berjalan ke kelas. Aku melihat Aris masuk ke kelasku dan aku pun lekas bersembunyi. Setelah dia keluar, aku pun segera masuk. Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku sesegera mungkin keluar dari kelas dan langsung pulang. Sudah beberapa hari, aku berhasil bersembunyi dari Aris. Namun di hari selanjutnya kejadiaan naas menimpaku, ban sepeda motorku kempes.
“Hei, udah lama ya nggak ketemu?” sebuah suara yang ku kenal mengagetkanku.
Aku menoleh memastikan pendengaranku, “Aris” batinku. Tanpa membalas kata-katanya, aku pun kembali fokus ke motorku.
“Hei, bannya kempeskan? Jadi, pulang sama aku aja yok.”
 “Nggak usah, duluan aja.” jawabku datar.
Aku pun melangkah pergi. Lalu sebuah tangan menghentikanku. “Kamu kenapa sih ra? Aku ada salah apa sama kamu?”
“Kamu nggak punya salah apapun kok.” Jawabku datar sambil melepaskan genggaman tangan Aris.
“Kenapa kamu berubah?”
Aku hanya diam dan terus berjalan. Lalu Aris pun berteriak “Kamu tau, aku yang ngempesin ban kamu biar aku bisa pulang bareng kamu.”
Pengakuan Aris sontak membuatku terkejut. “Kekanak-kanakan” ujarku menimpali. Ia pun berteriak “Aku kangen kamu ra, hari-hari tanpa kamu tuh hampa banget. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Aku terus melangkah tanpa suara. Aris pun berlari mengejarku dan mengenggam tanganku lebih erat. “Lepasin!” teriakku.
“Kamu masih cinta aku kan ra? Jujur ra! Kamu ngejauhin aku karena Mona kan ra?” senyumnya jahil menatapku.
“Nggak, aku benci kamu.” Teriakku kesal.
Wajah Aris pun berubah, tampak terpukul. Aku pun merasa bersalah “ maaf” ujarku lirih.
Aris pun tersenyum kembali “Aktingku sukses ra, kamu ketipu. Mona tuh cuman ngebantuin aku bersandiwara biar kamu cemburu.”
“Hah?” perkataan Aris membuatku terheran-heran.
“Beneran ra.. aku masih cinta sama kamu, cuman kamu cewek yang aku cinta.” senyum Aris mengembang.
“Beneran?” tanya ku tak percaya.
“Iya, benar ra. Aku cinta kamu ra, Rara Anjani.” Lalu dia pun menarik pundakku dan memelukku.
Tubuhku pun hanya menerima pelukannya tanpa protes. “Terima kasih dan ku rasa aku benar-benar membencimu sekarang.” Ujarku sambil tersenyum.  
Dia pun tertawa lalu berkata “Sampai akhir pun kamu nggak bisa mengungkapkan kata-kata cinta, aku anggap itu cara kamu menyatakan cinta sama aku. Jangan saling membohongi lagi”
“Em..” jawabku sambil menganggukkan kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 1 Memenangkan Lotere, Ruang Muncul

(Cerita fiksi yang melintasi ruang dan waktu berbeda, simpan otakmu dulu di sini~) November 2023. Pada pukul dua pagi, Lian Xiaomin terbangu...